Tuesday 22 September 2020

MENGAPA DAKWAH SALAFI DAN JAMAAH TABLIGH DITERIMA LUAS KALANGAN ARTIS?

Catatan Singkat Disertasi Oki Setiana Dewi

Dalam sebulan terakhir, saya menikmati betul disertasi Oki Setiana Dewi. Meskipun ada beberapa hal yang masih perlu ditimang-timang ulang, namun banyak temuan penting yang dapat memperluas horison pengetahuan. Terlebih ketika membaca transkip wawancara dari para selebritis dan musisi yang memutuskan hijrah. Lebih dari itu, saya sebagai santri yang mengasup keilmuan dan tradisi NU, semakin terteguhkan bahwa meskipun dalam beberapa hal ada perbedaan antara Salafi, Jamaah Tabligh, NU, Muhammadiyah, ataupun ormas lain, namun tetap saja banyak titik temu. Boleh saling kritik dalam upaya diskursus keilmuan dan saling menasihati, tetapi tidak layak jika saling mencibir ataupun merendahkan.

Ada tiga pertanyaan yang hendak dijawab oleh disertasi yang berjudul “Penerimaan Kelas Menengah Muslim terhadap Dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh; Studi Pengajian Selebriti Hijrah (2000-2019)” ini. Pertama, apa model dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh dalam pengajian selebritis hijrah? Kedua, sejauh mana penerimaan selebritis hijrah terhadap dakwah Salafi dan Jamaah Tabligh? Ketiga, bagaimana bentuk ekspresi keagamaan yang dihasilkan dari proses belajar agama selebritis hijrah dengan pendakwah Salafi dan Jamaah Tabligh?

Kerangka teori yang digunakan penelitian Program Doktor Kajian Islam Jurusan Dakwah dan Komunikasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini adalah teori habitus Pierre Bourdieu (1930-2002) dan teori resepsi aktif yang dikembangkan oleh Andi Faisal Bakti. Data dikumpulkan melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Tempat penelitian dibatasi pada tiga kota; Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Disertasi setebal 227 halaman di bawah bimbingan Prof. Andi Faisal Bakti, M.A dan Prof. Dr. Azyurmardi Azra, M.A. Ini telah lulus sidang pada 23 Juli 2020.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat selebritis tertarik mengikuti kajian Salafi. Pertama, pendakwah Salafi selalu merujuk al-Qur’an dan Sunnah. Hampir semua selebritis yang diwawancarai tertarik mengikuti kajian Salafi karena sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, pendakwah Salafi mudah dihubungi dan konten keagamaannya tersebar luas di media sosial. Sehingga mudah diakses. Ketiga, pendakwah Salafi tegas dan jelas. Meskipun sebagian orang beranggapan pendakwah Salafi kaku dan sangat tekstualis, tetapi faktanya, pribadi yang seperti itulah yang justru lebih disukai oleh beberapa selebritis hijrah. Primus Yustisio menceritakan awal mula ketertarikkannya dengan Ust. Khalid Basalamah karena ketegasan dan kejelasan dalam berpendapat.

Perjumpaan selebritis hijrah dengan pendakwah Salafi, secara umum melalui dua media. Pertama, media sosial, TV alternatif, dan radio. Primus dan Ferry Anwar tertarik mengikuti pengajian Salafi setelah mendengar video ceramah Ust. Khalid Basalamah dan pengajian keagamaan yang disiarkan Radio Rodja. Kedua, jaringan pertemanan. Pertemanan sesama artis juga berperan besar dalam mempertemukan selebritis hijrah dengan pendakwah Salafi. Mediana Hutomo dan Teuku Wisnu misalnya, awal mula bertemu dengan pendakwah Salafi setelah mengikuti kajian rumahan yang diadakan teman-temannya. 

Di satu sisi yang lain, pertemanan juga menjadi faktor penting bagi selebritis tertarik dengan Jamaah Tabligh. Selebritis yang telah merasakan ketenangan dan ketentraman bergabung dengan Jamaah Tabligh lantas mengajak dan menginspirasi teman-temannya yang lain. Secara garis besar, ada tiga motivasi para selebritis hijrah ke Jamaah Tabligh. Pertama, mereka ingin mempelajari agama lebih mendalam, khususnya belajar tentang adab dan sunnah Rasulullah. Kedua, belajar dakwah yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat. Ketiga, kesederhanaan, kesetaraan, dan pantang menyerah dalam berdakwah. 

Gito Rollies (1947-2008) adalah tokoh sentral bagi selebritis yang hijrah ke Jamaah Tabligh. Musisi dan aktor yang moncer di tahun 1960-an hingga 1980-an ini adalah role model bagi musisi hijrah ke Jamaah Tabligh. Alkisah, setelah aktif mengikuti Jamaah Tabligh, Gito Rollies memantapkan diri hijrah dari kehidupan hampa agama menjadi individu yang religius hingga tutup usia.

Jika di beberapa sudut halaman transkip wawancara penelitian ini saya sempat berkaca-kaca karena larut dalam gejolak saudara-saudara selebritis dan musisi menemukan jalan hijrahnya, lantas tertarikkah anda untuk berempati menelaahnya?

Thursday 17 September 2020

Bersikap Adil

Sewaktu suami ponakan saya di luar kota sempat diwajibkan tes swab sebelum melakukan perjalanan dinas dan dinyatakan  terpapar C19, mereka menjalani karantina mandiri. Dari mereka saya mendapat cerita bagaimana tanggapan tetangga mereka sewaktu tahu di lingkungan mereka ada yang terpapar Covid19.

Reaksi yang diterima beragam. Ada yang mengirim makanan untuk mencukupi kebutuhan makan mereka, ada yang mengirim kue-kue, dll tapi yang aneh adalah ada juga yang mencibir dan menghujat. Sambil bercanda kami menyimpulkan C19 sudah membantu membuka tabir wajah sesungguhnya dari seseorang. Mana teman yang sesungguhnya dan mana teman yang bohongan.

Saat baru dinyatakan terpapar mereka langsung melakukan metabolic conditioning sekitar 5 hari sebelum jadwal tes swab yang ke2 bagi suami dan yang ke1 bagi istri. Alhamdulillah hasilnya, meski diwarnai keheranan yang sangat dari petugas gugus covid terkait, semua negatif untuk swab 2 dan 3 hingga akhirnya mereka selesai karantina mandiri.

Saya ingin menyoroti sikap masyarakat terhadap mereka yang di'vonis' covid19. Saya nggak ngerti darimana reaksi negatif itu berasal.  Kenapa setiap ada kasus C19 sebagian orang di lingkungan yang sama langsung ambil ancang-ancang melockdown ybs. Perilaku ini malah menambah beban stres dari mereka yang langsung terpapar. Jangan salahkan sikap keluarga penderita yang cenderung menutupi karena mereka tidak mau diperlakukan seolah aib dan hina.

Kok bisa kita menyikapi orang yang terkena musibah (kadang seorang OTG yang sehat tetiba kedapatan tes swab dan entah bagaimana dinyatakan positif) dengan cara yang tidak beradab. Terpapar C19 bisa seolah mendapat aib, bahkan kesannya lebih buruk daripada seseorang divonis HIV/AIDs. Apa-apaan ini.

Apakah kita mau bilang orang yang terpapar C19 yang dia pun tidak ingin terpapar sebagai orang-orang yang kehilangan martabatnya sehingga layak diperlakukan tidak adil. Apakah ini buntut dari pemberitaan tentang kedigdayaan C19 yang cenderung mengglorifikasi C19? Orang takut diketahui status kesehatannya karena takut sanksi dari masyarakat. Terus masyarakat lebih suka dibohongi gitu? Nggak mau juga kan.

Kenapa kita tidak bisa bersikap adil dan proporsional. Pahami dulu cara penularan C19, adakah di sana terkait dengan kegiatan yang melanggar kaidah susila, apakah akibat perbuatan melanggar hukum manusia dan Allah? Nggak ada kan. 

Apakah seseorang terkena C19 karena nyuntik narkoba? Apakah karena berhubungan homoseksual seperti yang terjadi pada penderita Aids. Apakah akibat minum-minum alkohol sebagaimana penderita penyakit hati? Besar kemungkinan jawabannya tidak. Lantas darimana asal stigmatisasi aib orang yang terpapar C19.

Orang bisa terpapar C19 saat memegang suatu benda yang terpapar virus C19 dan terbawa masuk lewat salah satu gerbang mukosa kita. Saat imun kita lemah, kita terinfeksi. Sebetulnya biasa saja.

100 orang terpapar C19 tapi tidak 100 orang mati. 100 orang terpapar HIV/AIDs berapa orang yang sembuh? Mungkin tidak ada. 

C19 menyerang sel ephitelia paru sedangkan HIV menyerang CD4, jenderal dari sistem imun dalam adaptive immune system (sistem imun lumpuh). 

Dengan pembenahan sistem imun melalui metabolic conditioning pembajakan sel ephitelia oleh virus C19 itu bisa diatasi dan dibasmi oleh NK cell kita sendiri atas perintah CD4. 
Lalu C19 diperlakukan sebagai aib dan virus yang justru mematikan malah dinafikan keseramannya. Dimana keadilan itu?

Jika saya membandingkan C19 dengan virus HIV bukan dimaksudkan untuk melecehkan penderita HIV. Tujuan saya adalah untuk mengingatkan jangan kita bersikap tidak adil kepada mereka yang mengalami infeksi C19. Hidup mereka sudah semakin susah dengan sakit itu, nggak perlu lagi tambahan beban dari masyarakat yang merasa seolah satu keluarga itu ancaman bagi nyawa tetangga. Kita diperintahkan untuk bersikap adil karena adil itu lebih dekat ke taqwa.

Makanya pola pikirnya harus diubah. Setiap orang bertanggung jawab atas kesehatannya masing-masing. Bukan seperti sekarang, menuntut orang lain sehat bugar agar diri mereka bebas menikmati hidup tanpa peduli sehat. Kok kesehatan sendiri minta disubsidi orang lain.

Kalau kita berkomorbid, jangan marah kepada OTG, tinggal perbaiki diri dengan metabolic conditioning. Kalau nggak mau, ya tanggung sendiri risikonya bukan malah menghujat orang lain atau membawa sebangsa dan senegara dilockdown.

Kalau setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan dia dan keluarganya sendiri, maka cluster herd immunity dalam arti positif yang hakiki dapat tercapai (bukan pengertian herd immunity yang dikaitkan dengan vaksin yang dipahami selama ini). 

Daripada curiga tetangga terus-terusan mendingan beresin PR masing-masing, metabolic conditioning aja, sudah belom😏.
-nd

Sunday 13 September 2020

Menyongsong PSBB Jilid II


Pandemi ini terjadi atas ijin Allah sebagai ujian bagi kita. Kita diberi akal sehat dan kesadaran untuk menilai dengan ilmu bukan dengan framing atau reframing apalagi hoax. Lindungi diri dan keluarga secara semestinya dan yang terpenting lengkapi diri dengan ilmu yang relevan, itu prioritas.

Tugas kita sederhana. Jika PSBB menjadi aturan yang mengikat kita, maka jalani sebagai bukti ketaatan. Agar menjadikannya sebuah keuntungan akhirat, maka sertai niat bahwa ketaatan itu dikarenakan menaati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang menyuruh kita taat kepada ulil amri bukan karena kecintaan kita kepada mahluk yang diidolakan. Mahluk pada akhirnya tidak lebih dari hamba yang penuh khilaf.

Ketaatan terhadap aturan PSBB jangan membuat kita berdiam diri. Lakukan upaya penguatan ketahanan diri dan keluarga. Di masa PSBB jilid 2 yang akan dimulai besok ini hendaknya kita memiliki ikhtiar tambahan. Ikhtiar yang insyaa Allah akan  menyelamatkan kita dan keluarga dari syubhat pandemi. Ikhtiar yang mengukuhkan taat kita menjadi tawakal.

Allah berikan ujian pasti sudah ada takarannya, sebagaimana Allah berikan penyakit pasti ada obatnya. Jadi jika ada yang berteriak suatu penyakit tidak ada obatnya, jangan-jangan dia belum cukup teliti melihat ke dalam dirinya. Obat itu ada di sana.

Ketika kita sibuk mencari obat bagi suatu penyakit, kita fokus pada penyakitnya dan melupakan doa kepada Dia yang mengirimkan sakit itu. Apalagi sampai memikirkan kenapa Dia memberi suatu penyakit kepada kita, apa hikmah dibalik ujian sakit yang diberikanNya? Sudah kah kita berpikir ke sana?

Mari kita buka mata dan telinga, cernalah dengan kejernihan hati. Kenali kondisi diri masing-masing. Kita mati karena malaikat maut tuntas menjalankan tugasnya sesuai perintah Allah, bukan Covid. Protokol dibuat dan ditaati tapi kita harus ingat itu belum menjadi solusi atas akar masalah. Memangnya apa akar masalahnya? Imunitas.

Mari kita kosongkan gelas agar bisa menerima ilmu yang mungkin belum pernah sampai ke kita sekalipun kita sudah merasa memiliki ilmu yang super hebat.  Ingat prinsip ada langit di atas langit.

Yuk kita bicara tentang pandemi virus SARsCov2 atau Covid19 ini. Semua pakar kesehatan tahu dan tidak mungkin membantah fakta bahwa virus tidak ada obatnya kecuali antibody kita sendiri. 

Solusi umum yang ditawarkan oleh dunia medis konvensional adalah vaksin. Cara kerja vaksin itu menyasar pada sistem imun manusia. 

Vaksin itu sebuah bukti pengakuan dunia kedokteran konvensional bahwa setiap manusia sudah diperlengkapi dengan sel imun dalam sebuah sistem imun yang canggih.   Peralatan proteksi diri karunia Allah Sang Pencipta yang akan melindungi ciptaanNya dari semua zat yang patogen dan merugikan kesehatan selama mereka hidup.

Lalu satu ketika kebiasaan buruk gaya hidup kita merusak keseimbangan sistem metabolik tubuh. Dimulailah drama demi drama penyakit menghampiri kita. Puncaknya sebuah pandemi. Lalu dengan pongah kita bilang kali ini tidak ada obatnya. 

Apakah kita mau bilang Allah berbohong dengan mendatangkan penyakit yang tidak ada obatnya? Tidakkah kita berpikir, jangan-jangan ilmu kita yang tidak mampu menjangkau obat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. 

Alat proteksi kita, sistem imun, masih ada di sana tapi aksesnya telah kita rusak atas nama gaya hidup. Kita sendiri yang merusak lalu kita bingung kenapa obatnya tidak juga ditemukan.

Jika kita akui pandemi ini karena virus maka solusi yang benar dan tepat adalah bangunkan sistem imun masing-masing. Kembalikan siskamling diri. Jika tidak bisa, cari apa yang menghalangi, pelajari dan atasi. Nah kita masuk ke dalam bahasan apa yang mempengaruhi kerja sistem imun.  

Pahamilah teman-teman, sistem imun kita lemah karena lifestyle yang merugikan. Contoh, gaya hidup sedentary (mager, rebahan), makan yang berlebihan, stress berlebihan, miras dan konsumsi gula dan karbo diluar batas kemampuan liver secara terus menerus. Hasilnya jutaan manusia mengidap sindrom metabolik atau penyakit degeneratif (kerusakan pada sel-sel). 

Siapa di antara kita mengidap diabetes, ibu segala penyakit, siapa yang menderita kanker, sakit jantung, ginjal, alzheimer dan penyakit tidak menular lainnya? Siapa di antara kita tengah berada dalam kondisi obesitas? Semua penyakit itu termasuk dalam kategori sindrom metabolik.  Beranikah kita tanyakan secara jujur, siapakah yang membuat kita sakit? Jawaban jujurnya adalah hawa nafsu kita sendiri.

Setiap tindakan yang kita ambil selalu menimbulkan konsekuensi, itu sudah sunnatullah. Gaya hidup kita serampangan, abusive tentu akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Apa yang kita makan akan menentukan kesehatan kita. 

Allah telah memerintahkan hambaNya untuk memperhatikan makanan mereka, bukan hanya halal tapi juga thoyyib. Nasi pasti halal kan, tapi bagi penderita diabetes dan sindrom metabolik tidak thayyib, terus masih mau terus disantap? Begitu juga jenis makanan lain untuk jenis penyakit lain. 

Mereka terhalang makan makanan yang halal karena kondisi mereka sendiri. Ibaratnya halal itu ketentuan umum dalam makan dan minum bagi kaum muslimin dan thayyib adalah ketentuan khususnya. Konsekuensi pelanggaran prinsip halal akan ditanggung yang bersangkutan di akhirat sedangkan konsekuensi pelanggaran prinsip thayyib akan membawa yang bersangkutan ke tempat tidur (terkapar sakit), rumah sakit atau ke dalam kubur.

Sekarang Allah ijinkan mahluk super mini bernama covid19 hadir menguji kesehatan kita. Bukannya mikir bagaimana memperbaiki metabolic agar kembali ke fitrah, kita malah sibuk berpolemik di soal psbb atau tidak psbb. Persis sama dengan awal PSBB jilid satu dulu. Artinya tidak ada perubahan sikap yang dilakukan, tidak ada pelajaran yang dipetik.

Dulu kematian itu urusan masing-masing, kini tampaknya tidak lagi. Kini kebanyakan orang takut mati karena perbuatan orang lain padahal dia sendiri masih bergaya hidup tidak sesuai fitrah. 

Kini orang-orang cenderung berani menuduh orang lain yang membuat dia sakit bukannya berpikir dia harus sehat dan kuat agar terhindar dari sakit. 

Adalah aneh memiliki pandangan kita sakit akibat tertular OTG (istilah resmi sudah berbeda tapi bukan pokok bahasan). OTG itu siapa? Mereka orang sehat bukan, apakah kita jadi suudzon dengan setiap orang yang kita temui, jangan-jangan dia OTG.  Yang salah itu sistem imun kita sendiri, bukan OTGnya.  Itu namanya buruk muka cermin dibelah. Kita yang rentan sakit akibat gaya hidup tak sesuai fitrah, kok menyalahkan orang lain.

Lagipula apa sih yang dimaksud dengan OTG? Setiap orang sehat bugar yang suatu ketika kedapatan positif Covid setelah dilakukan swab test kah? Itukah yang dimaksud dengan pelabelan OTG? Kalo itu, berarti bisa saya, anda atau anggota keluarga kita, siapa pun.

Virus bisa saja menulari siapapun tapi pada OTG bisa jadi mampu dia atasi karena respon  imunnya bagus dan normal. Pada pengidap sindrom metabolic, respon imun mereka abnormal. Lalu kita sibuk menunjuk hidung OTG telah menulari kita bukannya berupaya meningkatkan kesehatan kita sendiri. 

Berusaha lah terus untuk mengentaskan diri dari sindrom metabolic agar kita bisa punya respon imun yang normal.  

Virus hanya bisa diatasi dengan antibody. Antibody dihasilkan oleh sistem imun yang sehat dan berfungsi maksimal. 

Seseorang dengan sindrom metabolic umumnya memiliki respon imun abnormal maka dia sulit memiliki antibody karena antibody adalah produk akhir sistem imun setelah melalui serangkaian proses penanganan virus yang melibatkan tiga divisi di sistem imun manusia: innate immune system, adaptive immune system dan humoral immune system. 

Vaksin ditujukan memotong sebagian peran innate dan adaptive immune sistem. Tujuannya memberikan data instan kepada humoral immune system kita yang dinamakan antibody. 

Vaksin mungkin bisa bekerja pada orang sehat, yang sebetulnya justru tidak butuh vaksin untuk melawan suatu virus, tapi saya tidak yakin jika diberikan ke penderita sindrom metabolic karena sejak awal respon imunnya sudah tidak normal. Jangan sampai ketika vaksin yang dinanti tiba mereka tidak bisa mendapatkan manfaatnya.

Jika begitu silakan jawab dalam hati masing-masing mana yang prioritas untuk dilakukan, tunggu imunisasi dengan vaksin atau mulai lakukan optimalisasi metabolic conditioning?
Agaknya pengidap sindrom metabolic sendiri lebih berhak menentukan.

Alangkah baik jika PSBB jilid 2 ini disertai edukasi tentang optimalisasi metabolic conditioning sebagai upaya menekan fatalitas dan perbaikan respon imun masyarakat. 

Jika ini dilakukan banjir pasien di rumah sakit bisa berkurang dan dokter/nakes pun tidak lagi jadi korban.
-nd

Saturday 12 September 2020

kembalikan fungsi masjid

(Renungan yang Sangat Baik) 

Akhir-akhir ini saya merasa malas untuk berinfak, apalagi kalau itu harus dilakukan di masjid-masjid yang besar dan megah. Saya tak yakin infak itu benar-benar sampai kepada yang berhak.

Saya merasa bahwa ada sesuatu yang keliru soal cara pandang mayoritas takmir masjid yang mengelola infak terhadap uang infak yang diamanahkan kepada mereka. Taruhlah satu masjid kampung dengan ukuran sedang saja bisa mengumpulkan jutaan rupiah setiap Jumat. Pikirkan berapa banyak yang bisa dilakukan dengan uang-uang itu jika dalam setiap bulan ada 4-5 Jumat dan dalam setahun paling tidak ada 52 Jumat.

Hitungan paling kasarnya, ada potensi pemasukan minimal sebanyak Rp52 juta. Ini hitungan untuk sebuah masjid di kampung. Masjid di perkotaan sudah tentu lebih banyak lagi.

Lalu, yang banyak dipikirkan para pengelola masjid dengan uang sebanyak itu adalah mempermegah masjid. Mulailah uang itu dihabiskan untuk macam-macam pembangunan: memperbarui mimbar dan kotak amal dengan ukir-ukiran mahal, menambah ornamen-ornamen kaligrafi dan dekorasi yang ndakik-ndakik, melengkapi masjid dengan pernak-pernik lampu dan running text.

Beberapa masjid malah melangkah lebih jauh dengan membangun menara tinggi dan besar yang fungsinya hanya untuk menyangkutkan corong pengeras suara. Atau fungsi sebenarnya untuk adu gagah dengan masjid-masjid di sekitarnya?

Pada akhirnya, uang infak jamaah banyak tersedot untuk biaya perawatan masjid karena bangunan masjid yang mewah butuh biaya perawatan lebih banyak. Sedikit sisa yang tinggal sedikit lalu digunakan untuk acara-acara tablig akbar yang sebenarnya formalitas semata. Sedikit dari sedikit sisa yang tinggal sedikit digunakan untuk mengelola kajian-kajian fikih rutin atau pendidikan baca tulis Al-Qur’an, dan tak banyak masjid masih mampu menyelenggarakannya.

Garis besarnya: tak banyak manfaat yang diterima masyarakat dari sedemikian banyak uang infak yang disumbangkan. Di mana masjid ketika ada orang-orang miskin terlilit utang? Di mana masjid ketika ada orang-orang menggelandang di atas gerobak dan di emperan toko? Di mana masjid ketika ada anak-anak putus sekolah? Di mana masjid ketika ada keluarga yang kelaparan dengan anak-anak kecilnya yang kekurangan asupan gizi? Di mana masjid ketika ada orang-orang sakit keras namun tak mampu menebus obat?

Gugatan-gugatan itu terus timbul dalam pikiran saya ketika hendak memasukkan uang ke kotak infak. Malahan, baru-baru ini, turut berputar dalam pikiran saya bahwa jika kotak amal masjid sampai kemalingan, peluang uang infak untuk sampai kepada pemilik haknya malah semakin besar. Paling tidak, uang-uang itu sampai pada mereka yang sangat kepepet sampai harus mencuri, dan semua itu karena masjid tidak pernah memberi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan haknya dengan cara yang lebih terhormat.

Namun, saya tak ingin berhenti sampai sini. Saya ingin ada jalan keluar. Dan dalam rangka itu, saya punya sejumlah usulan ke mana sebaiknya uang infak masjid dikelola.

Masjid menyediakan pinjaman gadai tanpa bunga
Riba itu buruk, tapi ke mana orang harus meminjam jika butuh uang darurat? Tak semua orang bisa meminjam ke bank yang butuh jaminan itu. Meminjam ke kenalan juga tak mesti dapat.

Pasti banyak orang sangat bersyukur apabila ada pinjaman yang bisa dicicil dan tanpa bunga. Uang infak yang dikelola masjid bisa jadi modal mengelola model pemberi pinjaman semacam ini. Pihak masjid bisa melakukan ini dengan memberikan persyaratan yang ketat mengenai urgensi dan alasan peminjaman, jenis harta yang bisa digadaikan, dan cicilan beserta waktu jatuh tempo.

Masjid membeli hasil panen petani
Pada hari ini, masalah paling umum yang dihadapi oleh para petani adalah jatuhnya harga pada saat musim panen. Jika masjid bisa menjanjikan harga beli yang lebih tinggi daripada pihak tengkulak, saya pikir para petani akan beralih menjual hasil panennya ke masjid karena jelas akan lebih menguntungkan buat mereka.

Masjid menyediakan akses internet gratis untuk masyarakat
Hal ini sudah dipraktekkan di beberapa masjid. Saya rasa, dengan adanya akses internet masjid akan semakin ramai dan masyarakat, terutama anak-anak, akan semakin terikat pada masjid. Lalu, ini juga bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar masjid. Jika area pelataran masjid cukup luas, pengurus masjid bisa mengatur agar penjual makanan atau minuman bisa berjualan di sana dengan tetap menjaga kebersihan dan keindahan. Terakhir, untuk menjaga ketertiban, akses internet dapat dinonaktifkan pada waktu-waktu salat jamaah.

Memanfaatkan masjid untuk keperluan sekuler
Poin ini mungkin terdengar agak menyeramkan namun menurut saya inilah yang terpenting. Sebab saya lihat, orang-orang yang paling getol menolak sekularisme adalah yang justru paling bertanggung jawab atas meningkatnya sikap sekuler masyarakat.

Orang-orang semacam ini memandang masjid hanya pantas jadi tempat salat dan mengaji. Merekalah yang membuka masjid hanya ketika salat jamaah lalu menguncinya ketika anak-anak datang sekadar untuk bermain-main. Merekalah yang mengusir para gelandangan, musafir, dan pemabuk ketika mereka hendak tidur di masjid dengan alasan keamanan atau kepantasan.

Mereka lupa bahwa pada zaman Rasul dan beberapa generasi setelahnya, Masjid Nabawi adalah rumah bagi para gelandangan dan pemuda bujangan.

Ini membuat orang-orang secara tidak sadar menjadi jauh dari masjid. Anak-anak tidak mau pergi ke masjid karena tak ingin dimarahi. Mereka lalu bermain di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan orang tuanya. Para pemuda dan pemudi berhenti pergi ke masjid karena takut dicap alim dan tidak gaul. Para gelandangan dan musafir, yang sebenarnya merupakan sebagian dari golongan-golongan pemilik hak terbesar atas uang infak jamaah, justru dianggap tak pantas berada di masjid.

Oleh karena itu, menurut saya, masjid harus selalu jadi tempat yang terbuka. Pengelola masjid bisa membiarkan anak-anak bermain di masjid tanpa perlu menegur secara kasar. Akan lebih baik jika masjid turut menyediakan mentor pendamping belajar, di luar pelajaran-pelajaran agama. Jika area pelataran cukup luas, pengelola masjid bisa menyediakan sekadar ruang bagi para pemuda untuk berolahraga. Pengelola masjid juga bisa menyediakan sabun, sampo, dan pasta gigi agar para gelandangan dan musafir berkesempatan untuk membersihkan diri secara lebih manusiawi.

Jika uang infak yang dikumpulkan masjid masih saja terus dipakai untuk keperluan menyombongkan diri, bukannya melayani kebutuhan umat, mungkin memang sudah saatnya kita berhenti berinfak di masjid.

Sumber : https://mojok.co/terminal/mungkin-memang-sebaiknya-kita-berhenti-berinfak-di-masjid/?fbclid=IwAR2W970j2FzCti3fPS2gsl_TEqk3lyC_-jYV1WGq7SGtsYfeNPXQHjTE0iI.

Friday 11 September 2020

Demokrasi Terpasung

Sebentar lagi kita akan disuguhi oleh orasi menarik dari para jurkam yang berdedikasi 
yg akan menyemarakkan pesta demokrasi,
disana akan kita saksikan para putra terbaik baik dikancah Provinsi maupun Kabupaten/kota yang akan digelar secara serentak nantinya pada tanggal 09 Desember 2020.

Saatnya menentukan pilihan dan suara hati sebagai perwujudan menuju tujuan masing masing kandidat yang diusung oleh parpol. Kita tentunya menaruh harapan /perubahan sesuai visi misi yang disampaikan mereka.

Sejatinya perhelatan ini tidaklah menjadi ajang saling menghujat, menodai dan memantik per musuhan didalamnya karena bagaimanapun kita adalah saudara, kita adalah Indonesia.

Berbeda itu lumrah, kebersamaan itu wajib. Keberagaman itu keniscayaan, namun keutuhan sebagai bangsa itu harga mati, mari gunakan akal sehat bukan muslihat....

Memang kita butuh cost tapi bukan money politic, kita memang butuh biaya tapi jgn sampai merendahkan diri dgn dengan slogan BERJUANG (Beras, uang dan uang) 

Kita memang butuh energi dalam memperjuangkan usungan masing2 namun tak perlu latah dengan teriakan " NPWP " Nomor piro wani Piro. Kita sadar, sesadar sadarnya bhw kita perlu stamina utk kemenangan namun tak perlu menjual diri dgn pekik " MAJU TAK GENTAR MEMBELA YG BAYAR " sekali lagi kita harus cerdas utk memilih calonnya, bukan karena prinsip " ADA FULUS MULUS, TAK ADA FULUS MAMPUS" jgn biarkan demokrasi kita Terpasung, 

Itu Saja,
Selamat Malam.

Sunday 6 September 2020

komorbiditas

#identifikasi_Komorbiditas
.
Komorbiditas (Comorbidity) saat ini terlihat sebagai satu faktor penunjang utama kontribusi fatalitas tinggi di kondisi pandemi COVID-19.. 
Untuk menurunkan fatalitas ini, maka Komorbiditas juga harus ditekan..
.
Dari pembahasan publik di Zoom yang sudah diikuti di banyak lintas grup komunitas medis dan laboratorium..
ada korelasi erat antara Komorbiditas ini dan tingkat fatalitas korban pandemi COVID-19..
.
Apa itu Komorbiditas..?
"Komorbiditas" (kata benda) dan "Komorbid" (kata sifat) artinya penyakit penyerta; sebuah istilah dalam dunia kedokteran yang menggambarkan kondisi bahwa ada penyakit lain yang dialami selain dari penyakit utamanya.
Dalam Bahasa Indonesia sederhana sama artinya dengan Komplikasi (medis), yaitu kondisi di mana dua penyakit atau lebih hadir secara bersama-sama.
Definisi yang lebih luas menggambarkan kata ini bahwa yang hadir selain penyakit utamanya tidak selalu harus berbentuk penyakit tapi juga bisa berupa perilaku yang mengarah kepada gaya hidup tidak sehat.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Komorbiditas)
.
Melihat termin di atas, terutama di statement terakhir "..tidak selalu harus berbentuk penyakit..",
maka kita tidak bisa lagi hanya 'menunggu' Vonis diagnosa dokter, baru melakukan tindakan perubahan ataupun tindakan pencegahan..
karena kondisi Komorbiditas yang dialami masing-masing orang bisa jadi sudah bersifat SEVERE (akut) dan AKUMULATIF TINGGI..
.
Salah satu parameter lab sederhana untuk men-screening ini adalah HbA1c..
Parameter Lab yang mengukur seberapa banyak Glucose (Gula Darah) terikat dengan molekul Haemoglobin (Hb) di sel darah merah..
dan pengukuran ini mewakili kondisi terikatnya Glucose di sel-sel seluruh tubuh selain sel darah merah. Makin tinggi angka HbA1c, makin tinggi potensi dan resiko semakin terikatnya Glucose di sel-sel lain dalam tubuh kita yang secara signifikan akan menurunkan fungsi kerja nya di dalam tubuh
.
Apa hubungan nya dengan fatalitas di COVID-19..?
Tidak lain karena cara kerja virus COVID-19 di dalam tubuh saat me-replikasi dirinya (berkembang biak) ini adalah dengan menggunakan secara FULL (bahan bakar) Glucose..
dan kondisi dimana HbA1c tinggi adalah lingkungan IDEAL bagi virus COVID-19 untuk bisa sangat cepat melakukan replikasi secara masif..
.
Mengapa immune kita tidak bisa merespons 'serangan' COVID-19..?
Karena kondisi tinggi Glucose di dalam tubuh (HbA1c tinggi) juga terbukti secara klinis justru 'melemahkan' response Immune (Adaptive) yang diperlukan untuk mengatur kondisi Inflamasi yang dihasilkan dari response Immune (Innate) supaya tidak berkepanjangan yang mengarah pada kondisi Immunopathology..
Bisa dibuktikan secara hasil lab dimana ratio NLR (Netrophil Limfosit Ratio) yang meningkat tajam di kondisi pasien yang positif COVID-19, dan juga nilai ratio CD4/CD8 kecil yang mengindikasi kan kondisi Lymphopenia..
.
Jadi pastikan screening awal HbA1c menjadi patokan awal untuk MULAI mengambil tindakan pencegahan mandiri..
.
"Apapun diet atau pola hidup yang kita lakukan, jika masih menghasilkan angka HbA1c yang relatif tinggi, itu berarti apa yang kita makan masih berkontribusi menyumbang tingginya Glucose di Darah, apapun nama makanan nya"
.
Jangan tunggu vonis HbA1c tinggi baru mengambil tindakan..
Mulailah waspada dan ambil tindakan pencegahan sedini mungkin..!
.
#a_step_for_global_awareness
#dare_to_declare
#lowcarblifestyle
.
hasil rangkuman TFH 150420
(Immuno Risk Profile to identify Silent Comorbidity)

Medical aspects of ketone body metabolism

Mendobrak paradigma. 

Banyak yang masih mengira jika manusia hanya bisa menggunakan glukosa sebagai bahan bakar hidup, banyak yang masih menyangka jika manusia tidak mampu hidup tanpa makan karbohidrat, banyak yang masih menganggap jika keton itu racun dalam tubuh manusia, banyak yang masih menyangka jika kolesterol dan lemak dalam tubuh manusia adalah penyebab masalah patologis manusia. 

Berabad-abad kita dikenalkan, mempelajari dan meyakini hal ini menjadi suatu kebenaran. Bahwa manusia, hanya mampu hidup menggunakan metabolisme glukosa. Suatu doktrin yang sudah menjadi paradigma dan kebudayaan yang kuat. Ketika benteng paradigma ditembus oleh perbedaan, maka terjadi Shock Culture yang cukup massive hingga menjadi issu yang sensitif. 

Adalah Galileo Galilei, seorang ilmuwan, astronom dan fisikawan. Galileo menemukan fakta jika bumi adalah bulat dan matahari sebagai pusat tata surya, penemuan ini  bertentangan dengan ajaran Aristoteles dan keyakinan gereja bahwa bumi adalah datar dan pusat alam semesta. Pandangannya tersebut dianggap merusak iman dan diajukan ke pengadilan gereja Italia tanggal 22 Juni 1633. 

Pemikirannya tentang bumi adalah bulat dan matahari sebagai pusat tata surya membuatnya dihukum dengan pengucilan (tahanan rumah) hingga meninggalnya. Baru pada tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman itu adalah salah, dan dalam pidato 21 Desember 2008, Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa, Gereja Katolik Roma merehabilitasi namanya sebagai ilmuwan.

Ketika Sains diketemukan dengan segala perubahannya, mengapa harus ada suatu keyakinan yang hak dan harus dipertahankan? 

Jika sejarah masa lalu membuat manusia semakin pintar dan maju dimasa sekarang, itu karena masa lalu..masa lalu yang penuh kesalahan dan dari kesalahan manusia belajar. 

Kita berjalan menentang arus dan mencoba mendobrak paradigma yang sudah membudaya. Kita perkenalkan pada manusia jika, glukosa bukanlah satu-satunya sumber energi yang bisa dipakai manusia dan tanpa glukosa manusia bisa mati. Namun keton, pun bisa digunakan sebagai bahan bakar hidup dan terbukti membuat manusia menjadi jauh lebih berkualitas dan unggul. 

Tidak mudah berjalan melawan arus. Orang yang memutuskan hidup dengan metabolisme lemak dan menggunakan keton sebagai bahan bakar energinya dianggap aneh, cibiran mulai berdatangan, hujatan, hingga dianggap sesat dan menganiaya diri sendiri. 

Lalu dimana hikmah yang bisa kita ambil dalam sejarah Galileo Galilei? Atau kita memang tidak punya kemampuan untuk melihat hikmah karena terlalu tertutup oleh ego diri? 

Karena pada kenyataannya, saat ini..banyak sekali manusia yang menggunakan metabolisme lemak dan keton sebagai sumber energi hidup di dalam otaknya tersebar diseluruh dunia. Para ketoers di Indonesia saat ini masih harus berjibaku melawan arus, menjadi anti mainstream dengan semua resiko cibiran, hinaan, makian, hingga hujatan, ketoers harus menanggulangi tekanan secara psikologis dari dalam ( saat healing crisis perbaikan tubuh) dan dari luar ( berjalan melawan arus kebanyakan) 

Warriors...
Menuju perubahan yang lebih baik, menjadi manusia yang jauh lebih unggul dan mampu beribadah kepada Tuhan dengan kondisi jasad yang jauh lebih berkualitas untuk melakukan perannya dimuka bumi. Be brave, be strong, be humble, spread knowledges with love.. 

*EB*

Reference:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7554586

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0002934354903654

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1550413116306556

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0952327803002217

https://journals.physiology.org/doi/full/10.1152/ajpheart.00646.2012?fbclid=IwAR3jn333FyskOhHyXYHgiVcBgHV7-h2JpvuVKTr6ZLoTSAouRP-2LnJVsQQ