Membaca kisah dokter umum yang harus kuliah lagi dan dokter import yang segera datang.
Dari pengakuan beliau yang seorang dokter, profesor di kelasnya pernah bilang bahwa dokter Indonesia bisa diagnosa suatu penyakit dalam hanya dengan ketuk-ketuk dada.
So, saya jadi ingin cerita tentang pengalaman saya dan suami berobat di Indonesia.
---
Sepuluh hari sebelum saya pulang ke Jerman di tanggal yang ditentukan, saya sakit di pinggang belakang sebelah kanan. Sakitnya menyengat dan pulsating, alias berdenyut.
Karena waktu itu sudah malam, saya coba tanya dokter via HaloDoc. Saya ceritakan keluhan dan dokter tersebut bilang saya mungkin kena usus buntu.
Tapi dokter HaloDoc bilang saya harus diperiksa lebih lanjut.
Oke, memang niat saya periksa besok.
Besoknya, saya langsung ke rumah sakit untuk periksa. Tapi sama dokter umum di sana, saya cuma ditanya-tanya gejalanya apa.
Lalu dokter bilang bahwa sakit pinggang itu asalnya dari punggung saya. Saya kegemukan, kata dokternya. Akhirnya disarankan obat pereda nyeri dan olahraga teratur sambil diet.
Suami saya, sebagai orang Jerman yang terkenal akurat dan nggak main-main soal kesehatan, jelas nggak terima diagnosa itu.
Suami tanya ke saya, "Kamu nggak dites? Kok bisa bilang diagnosanya ini?"
"Nggak", saya bilang. "Mau dikasi pereda nyeri sama suruh olahraga aja. Katanya sakit punggung karena aku kegemukan. Punggungku nggak kuat untuk nahan berat badan."
"Nggak mungkin," sanggah suami. "Ngapain ke rumah sakit kalau cuma dapat pereda nyeri. Kita kan bawa banyak ibuprofen sama paracetamol. Mintalah diperiksa. Aku nggak percaya. Minta tes darah lengkap, sekalian tes fungsi ginjal sama hati. Minta rontgen, sekalian tes urin."
Awalnya, saya nggak enak sama dokternya. Maklum orang Jogja kan nggak enakan. Tapi tetap saya bilang ke dokter untuk minta dites.
Lalu saya terkejut sama ucapan dokternya, "Tes-tes ini mahal lho, Mbak."
Saya balas tanya, "Berapa, Dok?"
"Pastinya saya kurang tahu. Coba tanyakan ke kasir soal harga tes-tesnya."
Karena saya malas jalan ke kasir dan karena nahan sakit, saya bilang, "Nggak apa-apa dok. Tes aja. Kami pakai asuransi, kok."
Akhirnya kami nunggu antrian dan dites. Setelah hasil keluar, barulah hasil diagnosa keluar dan dokter tersebut tahu benar darimana rasa sakit saya berasal.
Surprise surprise, sama sekali nggak ada urusan sama kelebihan berat badan, punggung, atau diet.
Setelah itu, saya dapat obat rawat jalan dan nggak lama setelahnya saya sembuh dari nyeri pinggang kanan.
---
Nah, karena kisah yang dibagikan oleh bu Dokter di suatu grup, saya jadi ingat pengalaman saya ini. Ternyata memang di Indonesia, beberapa diagnosa masih manual. Karena takutnya masyarakat nggak mampu bayar kalau pakai diagnosa modern.
Di kota-kota besar ada diagnostic center yang memang dilengkapi peralatan modern macam-macam. Harganya edun untuk masyarakat kita.
Sekali diagnosa bisa lima ratus ribu rupiah. Berat untuk UMR kota Jogja yang dua juta rupiah.
Kalau rencana kedatangan dokter impor seperti yang dikisahkan bu Dokter terjadi, maka biaya periksa dokter dan diagnosa akan semakin tinggi. Karena menurut pengakuan beliau, dokter impor kalau diagnosa harus pakai berbagai alat, yang tentunya nambah biaya.
Pilihannya apa?
Satu, diagnosa manual yang mungkin meleset tapi murah.
Dua, diagnosa modern yang lebih akurat tapi mahal.
Buat rakyat bawah, dapetin diagnosa udah kaya ngegacha.
---
Lalu, bagaimana sistem layanan kesehatan di Jerman?
Sekedar informasi singkat saja. Kalau ada keluhan kesehatan, kamu harus pergi ke Hausarzt alias Dokter Umum. Di sana, kamu kisahkan keluhanmu.
Kalau masih di ranah dokter umum, bakal dapat pemeriksaan sampai ketemu sebabnya.
Kalau penyakitnya sudah di ranah dokter spesialis, maka akan dirujuk ke dokter spesialis.
Kalau dokter spesialisnya bilang perlu ke Rumah Sakit, barulah kesana dan dapat perawatan.
Tapi apapun keluhanmu, selama nggak emergency, wajib ke Hausarzt dulu. Baru nanti dirujuk ke spesialis.
Kalau darurat ya telpon saja 112. Kalau ngga dijemput mobil ambulans, ya dijemput helikopter. Lalu, dibawa ke rumah sakit.
Sistem kesehatan di Jerman semuanya 'gratis'. Kamu bayar asuransi tiap bulan sekitar tiga juta rupiah (EUR 200) dan kalau sakit, paling-paling bayar seratus lima puluh ribu (EUR 10) atau bahkan 'gratis-tis'.
Jadi, semua layanan kesehatan untuk masyarakat sama rata. Semua dapat prosedur yang sama.
Yah, bukannya saya mau bandingkan Indonesia dan Jerman. Saya kagum dengan dokter Indonesia yang masih mau merawat pasien meskipun bayarannya murah.
Ngomong-ngomong, tagihan periksa saya di RS Indonesia kemarin berkisar di lima ratus ribu rupiah. Termasuk murah mengingat saya dapat tes macam-macam.
Itupun dokternya masih peduli dengan keuangan saya.
Bayangin kalau posisi saya jadi dokter di Indonesia. Pasien saya orang kurang mampu, mungkin BPJS nunggak, dan dia perlu diagnosa.
Kalau diagnosa pakai alat, biayanya terlalu berat.
Kalau diagnosa tradisional, lebih murah tapi resikonya salah diagnosa.
Apalagi di masa pandemi di mana dokter adalah tentara yang harus maju duluan. Eh, masih dikatain pandemi ini hanya tipu-tipuan belaka.
Ah, malangnya dokter di Indonesiaku.