Saya sendiri pernah mengalaminya. Saya pernah mencandai kawan dekat saya, kawan yang benar-benar dekat. Dan ia marah. Aneka serapah ia lontarkan pada saya akibat candaan yang di mata saya tampak biasa saja itu.
Butuh waktu tiga hari bagi saya untuk memohon agar ia memaafkan saya.
Pada titik yang lain, saya pernah menampar di depan umum seorang tetangga saya yang jauh lebih tua dari saya gara-gara saya muntab saat ia melontarkan guyonan yang tak pantas tentang ayah saya. Tamparan saya bikin dia malu, imbasnya, ia ikut muntab dan menampar saya balik. Dia kemudian mengancam akan membacok saya.
“Mau aku bacok pakai apa kamu? Sabit? Golok?”
Hubungan kami kemudian renggang. Tentu saja. Kami baru berdamai sekitar lima tahun setelahnya.
Candaan, selalu punya batas penerimaan yang berbeda-beda. Dan menjadi tugas kita untuk selalu peka dan tidak goblok-goblok amat dalam memperkirakan batas-batas itu. Untuk menentukan sejauh mana jarak yang bisa kita lewati agar kita tak melanggar batas itu.
“Aku cuma bercanda, kok.”
Mungkin itu terdengar sepele bagi kita, namun bagi orang lain, ia bisa jadi merupakan sesuatu yang paling sentimentil.
Ketika kita melontarkan sebuah candaan, ia akan menguap begitu saja setelah beberapa menit. Kita bahkan bisa dengan entengnya melupakan candaan yang baru saja kita lontarkan. Namun bagi orang lain, candaan yang sudah kadung keluar itu bisa saja menjadi momok yang terus menghantuinya seumur hidup karena ia menyentuh perkara harga dirinya.
Dalam kondisi demikian, terasa sekali apa yang pernah dikatakan oleh praktisi dan ahli humor Indonesia, Arwah Setiawan.
“Humor itu perkara yang sangat serius,” begitu kata lelaki yang pada akhirnya jadi arwah betulan pada tahun 1995 itu.
Ditulis oleh "Agus Mulyadi"
No comments:
Post a Comment